Persaingan Antara Manusia dan Air: Upaya Pengendalian Banjir DKI Jakarta
Pengendalian banjir di Jakarta merupakan salah satu prioritas penting bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang selalu dipantau setiap saat terutama pada musim penghujan. Dalam menanggulangi banjir Pemerintah DKI Jakarta percaya bahwa upaya pengendalian hanya akan efektif bila dilaksanakan secara menyeluruh dari hulu hingga hilir dengan melibatkan Pemerintah Pusat dan semua Pemerintah Daerah di sekitar Jakarta; karena banjir dan perubahan iklim tidak mengenal batas-batas wilayah administrasi. Unsurunsur alam ini jauh lebih berkuasa daripada wilayah administrasi yang diatur oleh manusia.
Sejak tahun 2007 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menyusun rencana kerja khusus untuk menangani banjir di wilayah DKI Jakarta. Salah satu program dari rencana kerja tersebut adalah pembangunan Banjir Kanal Timur, yang akan mengurangi banjir di kawasan Timur dan Utara Jakarta, kira-kira seperempat dari luas keseluruhan Kota Jakarta. Dengan adanya Banjir Kanal Timur, kemungkinan terjadi banjir di kawasan ini akan menjadi relatif kecil. Kegiatan lain yang juga terus dilakukan adalah pengerukan sungai-sungai dan saluran-saluran air. Ketika banjir besar terjadi pada tahun 2007 ada 78 titik genangan air yang menghambat kehidupan rutin warga masyarakat Jakarta. Dengan program pengendalian banjir yang dilaksanakan sejak tahun 2007, 16 dari genangan tersebut telah hilang dan ditargetkan pada tahun 2010, 40 genangan lainnya juga akan hilang.
Dalam mengendalikan banjir, prinsip dasar yang digunakan oleh Pemerintah DKI Jakarta adalah mengalirkan air sungai yang masuk ke Jakarta melalui pinggir kota dan langsung ke laut. Tujuannya adalah agar air yang datang dari daerah hulu di atas Jakarta tidak memasuki wilayahwilayah tengah Kota Jakarta, tetapi dialirkan langsung menuju laut melalui Banjir Kanal Barat dan Cengkareng Drain di bagian Barat dan di bagian Timur melalui Banjir Kanal Timur dan Cakung Drain.
Sementara itu, kawasan Jakarta Selatan yang permukaan tanahnya relatif tinggi dibuatkan drainase yang akan menyalurkan air secara alamiah dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Di daerah-daerah yang lebih rendah, di mana genangan air tidak dapat mengalir ke mana-mana, digunakan sistem polder – yaitu sistem yang akan mempompa keluar air yang mengenangi daerahdaerah yang rendah dan mengeringkan daerah rendah ini dari genangan air. Sistem polder adalah suatu cara penangangan banjir dengan bangunan fisik yang terdiri dari sistem drainase, kolam retensi (penahan), tanggul yang mengelilingi kawasan daerah rendah, serta pompa dan atau pintu air sebagai satu kesatuan pengelolaan air yang tidak dapat dipisahkan. Air hujan yang jatuh dalam kawasan ini dialirkan oleh saluran air serta waduk dan dari waduk air ini dipompa ke laut.
Air dari genangan-genangan akan ditampung dalam waduk dan tanggul dan dipompa ke saluran-saluran pengendali, kemudian dialirkan ke Banjir Kanal Barat atau Banjir Kanal Timur yang mengalir ke laut. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga melestarikan situ-situ untuk menjadi penampung air sementara.
Upaya pengendalian banjir di Jakarta tidak hanya dilaksanakan sematamata melalui pembangunan infrastruktur seperti saluran, waduk dan kanal, tetapi juga melalui pendekatan perubahan perilaku penduduk yang tinggal di Jakarta. Banjir di Jakarta tidak pernah dapat dipisahkan dari faktor manusia yang hidup di wilayah ini. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggunakan dua pendekatan dalam pengendalian banjir, yakni pendekatan struktural dan non-struktural.
Meskipun demikian pengendalian banjir di kawasan DKI khususnya di bagian Barat Jakarta kian hari bertambah parah, hal ini disebabkan oleh perubahan tata guna lahan yang drastis dibagian hulu daerah aliran sungai (DAS) Kali Pesanggrahan dan Kali Angke. Daerah yang tadinya hanya dipergunakan untuk sawah maupun kebun, sekarang telah berubah fungsi menjadi daerah perumahan seperti: Perumahan Cinere, Bintaro, Pandeglang, BSD Serpong dan puluhan lokasi perumahan lainnya. Air hujan di daerah ini yang tadinya teresap kedalam tanah, sekarang mengalir langsung masuk ke Kali Pesanggrahan dan Kali Angke, akibatnya run off meningkat dan kedua sungai ini dipaksa menampung aliran air yang tinggi.
Situasi ini makin parah sejak tanggul Situ Gintung rusak, dimana sebelumnya aliran air dapat ditampung terlebih dahulu di Situ Gintung (daerah retensi) sehingga pengaliran air ke laut dapat dikendalikan bertahap dan tidak terjadi sekaligus. Tetapi sekarang tidak demikian halnya, air dari hulu langsung dialirkan ke Jakarta, dan bila curah hujan di hulu sedan tinggi maka tidak ada lagi pengendaliannya karena Situ Gintung tidak berfungsi lagi. Sekarang ini sangat dikhawatirkan Kali Pesanggrahan, Kali Angke, dan Cengkareng Drain tidak akan mampu lagi menampung limpahan air yang datang dari hulu sehingga terjadilah banjir karena kalikali tersebut luber.
Hal ini dapat diibaratkan menuangkan air kedalam sebuah gelas, yang bila dilakukan perlahan-lahan maka air tidak akan luber tetapi bila dilakukan sekaligus maka air akan langsung tumpah ke tanah. Situ Gintung terletak di Provinsi Banten dan perbaikannya memerlukan koordinasi Pemerintah Pusat. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana untuk membangun Drainase Cenkareng II (lihat gambar di atas) guna menanggulangi limpahan air dari hulu.
Sejak tahun 2007, pendekatan struktural Pemerintah DKI Jakarta difokuskan pada enam aspek, yaitu pembangunan banjir kanal, normalisasi sungai, pemeliharaan sungai, antisipasi air pasang dengan pembuatan tanggul, penataan kali dan saluran, dan pembangunan pompa, pintu air dan saringan sampah.
1. Pembangunan Banjir Kanal
Banjir Kanal Timur mulai dibangun tahun 2003 dan selesai serta mulai dipergunakan pada bulan Januari tahun 2010. Dalam membangun Banjir Kanal Timur, tantangan utama yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah pembebasan lahan. Di DKI Jakarta hampir tidak ada lahan yang tidak dimiliki oleh penduduk. Banjir Kanal Timur memiliki panjang 23,5 km dan membentang dari Cipinang di Jakarta Timur hingga kawasan Marunda di Jakarta Utara. Banjir Kanal Timur yang juga disebut sebagai saluran kolektor atau penampung ini memotong lima sungai, yakni Sungai Cipinang, Sunter Buaran, Jati Kramat, dan Cakung, dan memiliki kedalaman antara 4 sampai 7 meter. Lebar Banjir Kanal Timur tidak sama dari hulu ke hilirnya, di hulunya adalah 100 meter dan dibagian muara 200 meter serta rencana untuk marina di daerah Rorotan (Ujung Menteng) lebarnya 300 meter.
|
Banjir Kanal Timur sebenarnya sudah direncanakan sejak zaman Pemerintah Kolonial Belanda tetapi tidak pernah terwujud. Tahun 1973 ada kajian oleh konsultan Belanda yang menyarankan Banjir Kanal Timur disambung dengan Banjir Kanal Barat, sehingga akan berbentuk seperti huruf U (lihat gambar di atas). Sekarang Banjir Kanal Timur sudah berfungsi dan Banjir Kanal Barat menjadi lebih efektif dalam mengendalikan aliran air dari daerah hulu. Dengan selesainya pembangunan Banjir Kanal Timur, banjir di kawasan timur dan utara Kota Jakarta, yang mencapai sekitar seperempat luas kota, tidak akan separah tahun-tahun sebelumnya lagi.
Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat dibangun dengan tujuan untuk menyalurkan aliran air hujan dan air dari hulu langsung ke laut, sehingga air tidak menggenangi Jakarta yang 40% wilayahnya berupa dataran rendah yang memiliki ketinggian di bawah permukaan laut. Kedua kanal tersebut dapat diibaratkan sebagai jalan tol untuk air di Jakarta agar dapat cepat sampai ke laut tanpa harus berhenti di tengah perjalanan dan menyebabkan genangan atau banjir. Sebelum Banjir Kanal Timur terbangun, air dari hulu akan masuk ke berbagai saluran-saluran air besar maupun kecil yang ada, dan bila saluran-saluran ini tidak mampu lagi menampung volume air yang ada, banjir akan terjadi.
Banjir parah terakhir yang terjadi di DKI Jakarta adalah tahun 2007. Pada waktu itu Banjir Kanal Timur belum selesai karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih menghadapi masalah pembebasan lahan. Banjir tahun 2007 menewaskan 57 orang, memaksa 422.300 orang mengungsi dan menyebabkan 1500 rumah rusak atau hanyut terbawa air. Total kerugian diperkirakan mencapai sekitar USD 695 juta.16
Selain membangun Banjir Kanal Timur, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga berkepentingan untuk meningkatkan kapasitas dan efektivitas Banjir Kanal Barat, terutama dengan meningkatkan kapasitas air yang dapat ditampung. Sejak Banjir Kanal Barat dibangun pada tahun 1920 sampai tahun 2006, kanal buatan Pemerintah Kolonial ini belum pernah dikeruk atau dibersihkan sehingga terjadi pendangkalan. Selama berpuluh-puluh tahun endapan lumpur yang terbawa air dari hulu terdampar di Banjir Kanal Barat, demikian pula sampah dan endapan-endapan akibat aktivitas manusia terbawa dari saluran-saluran lebih kecil yang masuk ke saluran ini. Pendangkalan Banjir Kanal Barat mengurangi kapasitas air yang dapat ditampungnya.
|
|
Pada tahun 2006 pemerintah mengganti tembok di kedua sisi Banjir Kanal Barat dengan beton, dan tingginya dinaikkan sekitar satu meter. Tembok di kedua tepi Banjir Kanal Barat tersebut sebelumnya hanya berupa tanah dan belum pernah dirubah semenjak dibangun pada zaman Belanda.
2. Program Normalisasi Sungai dan Saluran
Bersambung ke: Mengapa Jakarta Banjir? (Bagian 4)
Baca juga: Mengapa Jakarta Banjir? (Bagian 1)
0 komentar:
Post a Comment