Image Widget

Image Widget

Belajar Geografi SMA

Menyajikan berbagai materi dan perangkat pembelajaran Geografi serta pembahasan latihan soal UN dan Olimpiade. Kami juga melayani pembelian peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25,000 dan pembuatan peta digital untuk mahasiswa S1, S2, instansi maupun umum. Terima kasih (Belajargeografisma@gmail.co.id)

Mengapa Jakarta Banjir? (Bagian 1)

Thursday, 1 December 2016

Warisan Alam dan Perkembangan Sebuah Ibu Kota

Empat puluh persen atau sekitar 24.000 ha dari seluruh wilayah DKI Jakarta adalah dataran yang letaknya lebih rendah dari permukaan laut. Dataran yang rendah ini dialiri oleh tiga sungai yang bermuara di Laut Jawa. Saat ini Jakarta juga merupakan kota dengan jumlah penduduk tertinggi di Indonesia dan jumlah ini terus bertambah karena daya tarik kota ini sebagai pusat perekonomian Indonesia. Tingkat pertambahan penduduk yang tinggi ini menimbulkan tekanan pada lingkungan hidup Jakarta yang semakin lama semakin berat. Perpaduan antara kondisi geografis yang rendah dan dialiri oleh banyak sungai, serta kian rusaknya lingkungan hidup akibat tekanan pertumbuhan penduduk, menyebabkan Jakarta kian lama kian rentan terhadap ancaman bencana banjir.

Luas daratan : 661,52 Km2
Luas Laut : 6.977,7 Km2
40% dataran rendah di
bawahmuka laut pasang
Dilalui 13 Sungai dari
wilayah Bodetabek.



Banjir di Kota Jakarta berkaitan erat dengan banyak faktor seperti, antara lain, pembangunan fisik di kawasan tangkapan air di hulu yang kurang tertata baik, urbanisasi yang terus meningkat, perkembangan ekonomi dan perubahan iklim global. Sesungguhnya banjir di kota ini bukanlah masalah baru. Pemerintah kolonial Belanda pun sudah sedari awal dipusingkan dengan banjir dan tata kelola air Jakarta. Hanya berselang dua tahun setelah Batavia dibangun lengkap dengan sistem kanalnya, tahun 1621 kota ini mengalami banjir. Ini adalah catatan pertama dalam sejarah Hindia Belanda, di mana pos pertahanan utama VOC di Asia Timur itu dilanda banjir besar. Selain itu banjir-banjir kecil hampir setiap tahun terjadi di daerah pinggiran kota, ketika wilayah Batavia telah melebar hingga ke Glodok, Pejambon, Kali Besar, Gunung Sahari dan Kampung Tambora.

Tercatat banjir besar terjadi antara lain pada tahun 1654, 1872, 1909 dan Banjir besar yang terjadi pada tahun 1918 membuat hampir seluruh kota tergenang. Dilaporkan pada saat itu ketinggian air sempat mencapai setinggi dada manusia. Salah satu upaya penanggulangan banjir yang dilakukan oleh Pemerintah kolonial setelah banjir besar 1918 adalah membangun saluran air yang disebut sebagai Banjir Kanal Barat pada tahun 1922. 


Pembangunan Banjir Kanal Barat merupakan ide ahli tata kelola air, Herman van Breen. Kanal ini terutama dibangun untuk melindungi kawasan Kota dari banjir tetapi tidak melindungi daerah-daerah lainnya. Panjang Banjir Kanal Barat adalah 17,5 km dan pada waktu itu kanal ini terhitung hebat karena mampu mengatur air yang masuk ke kota Batavia, dan menampung air Sungai Ciliwung, Sungai Cideng, Sungai Krukut dan Sungai Grogol. Saat itu jumlah penduduk masih relatif sedikit; tahun 1930 tercatat penduduk Batavia hanya berjumlah 811.000 orang. Tekanan penduduk pada lingkungan alam Jakarta ketika itu belumlah sebesar sekarang sehingga Herman van Breen berhasil dengan mudah melindungi kawasan Kota dari banjir.


Banyak perubahan telah terjadi sejak tahun 1920-an. Kondisi alam Jakarta telah berubah drastis akibat pertumbuhan penduduk dan perluasan kawasan permukiman serta industri. Jika sebelumnya curah hujan dapat meresap ke dalam tanah dan sisanya tersalurkan ke sungai, pembangunan fisik yang terjadi telah menutupi daerah-daerah resapan air. Karena luas daerah yang tidak terbangun semakin lama semakin menyempit, curah hujan yang terjadi di Jakarta sekarang langsung tersalurkan ke sungai dan saluran-saluran air lainnya untuk kemudian dialirkan ke laut


Selain banjir, seluruh aspek pengaturan air, baik itu menyangkut jumlah, mutu maupun alokasinya merupakan tantangan yang kian hari kian menuntut perhatian. Para ahli telah lama mengingatkan bahwa tata kelola air dapat menjadi penyebab utama masalah lingkungan bagi warga di kawasan perkotaan. Persediaan air di kawasan hulu seringkali tidak menjadi masalah, tetapi penyimpanan dan distribusi air di dareah-daerah perkotaan yang terus berkembang yang menjadi masalah. 


Pembangunan situ-situ di kawasan Jakarta yang dapat menyimpan dan menampung air dari hulu dan juga pengaliran air jarak jauh dari satu tempat ke tempat lainnya merupakan salah satu jalan keluar yang patut dipertimbangkan. Tata kelola air hanya akan dapat terlaksana dengan baik jika ada kepastian kebijakan dan kerjasama antara pemerintah-pemerintah yang bersangkutan. Selain itu, perlu ada pembatasan konsumsi air baik untuk penggunaan untuk pertanian, industri maupun rumah tangga. Masalah tata kelola sumber daya air merupakan masalah nasional yang mendesak terutama di Pulau Jawa yang saat ini jumlah penduduknya diperkirakan telah mencapai lebih dari 120 juta jiwa. 


Sejak dua dasawarsa lalu para pakar juga telah mengingatkan akan terjadinya persaingan antara kebutuhan air untuk irigasi, keperluan domestik rumah tangga dan industri yang akan berdampak luas pada semua aspek kehidupan penduduk di Pulau Jawa. Pulau Jawa berbentuk memanjang dan agak menyempit, dan oleh karenanya sungai-sungai di Pulau Jawa terbilang pendek, kurang dari 50 km panjangnya. Meskipun secara alamiah curah hujan mencukupi kebutuhan air untuk seluruh Pulau Jawa, kombinasi antara daerah alirah sungai yang kecil dan minimnya pepohonan yang dapat menyimpan air seringkali membuat banyak tempat di Pulau Jawa kekurangan air terutama pada tahun-tahun dengan musim kemarau yang panjang. Selain itu, ada satu masalah lagi yang perlu diperhatikan, yakni bahwa hampir semua sungai yang mengalir di kawasan perkotaan telah tercemar dan ini berdampak pada ketersediaan air bersih, kesehatan masyarakat, rusaknya lingkungan hidup di kawasan pesisir dan kerusakan serta kerugian ekonomi pada sektor-sektor budidaya yang memanfaatkan air.


Dalam empat dasawarsa terakhir ini, peningkatan jumlah penduduk Jakarta yang berlangsung pesat telah menyebabkan kawasan resapan air berkurang drastis karena beralih fungsi menjadi daerah permukiman dan industri. Lahan terbuka digantikan oleh rumah dan bangunan, dan yang tersisa pun ditutupi oleh jalan aspal atau pelataran parkir sehingga tidak mampu menyerap air. Air hujan yang tidak teresap berubah menjadi aliran permukaan yang mengalir ke sungai, yang selanjutnya dialirkan ke laut sesuai kapasitas sungai-sungai yang ada dalam menampung air tersebut. Dalam jumlah besar, air hujan yang tidak tertampung akan menjadi banjir. Terjadinya banjir akan tergantung pada tingginya curah hujan di hulu dan di wilayah Jakarta sendiri, volume sampah yang membuat sungai-sungai menjadi mampet dan dangkal, serta pasang surutnya air laut. Bila salah satu faktor yang disebutkan ini sedang berada dalam keadaan tidak normal, terjadilah banjir dan genangan air di beberapa kawasan yang rendah di ibukota. Bila semua faktor berada dalam keadaan tidak normal, banjir besar akan menimpa Jakarta.

Salah satu faktor penting dalam tata kelola air di Jakarta adalah perubahan musim dan pola curah hujan yang terjadi karena perubahan iklim. Ketika curah hujan di Jakarta tinggi, terjadilah banjir, tetapi pada musim kering hal sebaliknya terjadi, air menjadi langka dan tinggi permukaan air di sungaisungai menurun dratis. Dalam konteks nasional, sebagian besar wilayah di Sumatra, misalkan saja, selama kurun waktu tahun 1960-1990 dan 1991- 2003 mengalami keterlambatan awal musim hujan antara 10 sampai 20 hari dan keterlambatan awal kemarau antara 10 hingga 60 hari. Fluktuasi curah hujan adalah bagian dari perubahan pola dan variabilitas iklim yang merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang kini terjadi di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Dampak perubahan iklim lainnya adalah kenaikan suhu air laut dan udara. Kenaikan suhu air laut dapat merusak terumbu karang dan biota-biota laut lainnya. Sementara itu, kenaikan suhu udara akan mengubah pola-pola vegetasi dan menyebabkan penyebaran serangga seperti nyamuk yang akan mampu bertahan di wilayah-wilayah yang sebelumnya terlalu dingin untuk perkembangbiakan mereka.

Salah satu dampak perubahan iklim global pada Kota Jakarta adalah kenaikan paras muka air laut. Pemuaian air laut dan pelelehan gletser dan lapisan es di kutub menyebabkan permukaan air laut naik antara 9 hingga 100 cm. Kenaikan paras muka air laut dapat mempercepat erosi wilayah pesisir, memicu intrusi air laut ke air tanah, dan merusak lahan rawa pesisir serta menenggelamkan pulau-pulau kecil. Kenaikan tinggi muka air laut antara 8 hingga 30 centimeter akan berdampak parah pada Kota Jakarta yang rentan terhadap banjir dan limpasan badai. Di Ibukota masalah ini diperparah dengan turunnya permukaan tanah akibat pendirian bangunan bertingkat dan pengurasan air tanah secara berlebihan. Suatu penelitian memperkirakan bahwa kenaikan paras muka air laut setinggi 0,5 meter dan penurunan tanah yang terus berlanjut dapat menyebabkan enam lokasi di Jakarta dengan total populasi sekitar 270.000 jiwa terendam secara permanen, yakni di kawasan Kosambi, Penjaringan dan Cilicing dan tiga lagi di Bekasi yaitu di Muaragembong, Babelan dan Tarumajaya.


Sebuah studi lain yang berfokus pada dampak perubahan iklim di Asia Tenggara dan memberi peringkat pada kerentanan negara-negara di Asia Tenggara terhadap perubahan iklim menemukan beberapa hal menarik tentang DKI Jakarta. Dari 530 wilayah kota di tujuh negara yang dikaji, yakni Indonesia, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Malaysia dan Philipina, lima wilayah kota administrasi di DKI Jakarta masuk dalam 10 besar kota yang rentan terhadap perubahan iklim. Tak tanggung-tanggung, dari 10 besar tersebut tiga wilayah kota administrasi di DKI Jakarta menempati tiga urutan tertinggi, yaitu Jakarta Pusat di urutan pertama, kemudian Jakarta Utara di posisi kedua dan Jakarta Barat di posisi ketiga. Sedangkan Jakarta Timur masuk dalam urutan ke lima dan Jakarta Selatan urutan ke delapan. Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tidak masuk dalam wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim. Sepuluh wilayah kota yang rentan terhadap perubahan iklim di Asia Tengara adalah:


1. Jakarta Pusat (DKI Jakarta)
2. Jakarta Utara (DKI Jakarta)
3. Jakarta Barat (DKI Jakarta)
4. Mandol Kiri (Kamboja)
5. Jakarta Timur (DKI Jakarta)
6. Rotano Kiri (Kamboja)
7. National Capital Region (Filipina)
8. Jakarta Selatan (DKI Jakarta)
9. Bandung (Jawa Barat)
10. Surabaya (Jawa Timur)

Studi yang dilakukan oleh Economy and Environmental Program for Southeast Asia (EEPSEA) ini menciptakan sebuah Climate Hazard Index yang dibangun berdasarkan faktor-faktor: angin puyuh (cyclone), banjir, musim kering antara tahun 1980-2000, kerentanan terhadap longsor, dan peningkatan ketinggian air laut. Studi EEPSEA menemukan bahwa tingkat kepadatan penduduk merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan perubahan iklim dan bagaimana suatu daerah dapat mengantisipasi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim.




0 komentar:

Post a Comment